Hidup
Mahasiswa !
Hidup
Rakyat Indonesia !
Sepenggalan
kata yang masih selalu terngiang-ngiang ditelinga, kata yang selalu terdengar di
sudut-sudut kampus atau pun saat aksi jalanan, kata-kata itu seperti jadi
kalimat wajib mahasiswa yang harus selalu diucapkan untuk membela kepentingan
rakyat.
Kalimat
itu terdengar pertama kali saat menginjakan kaki di bumi perantauan jatinangor,
memulai meniti kehidupan di kampus padjadjaran. Ya, itu adalah pada saat
orientasi mahasiswa baru. Ketika orasi dari ketua BEM Kema saat itu yang
mengebu-gebu seolah membakar semangat setiap orang yang mendengarnya, dan
diakhir orasinya, dua penggal kalimat itu yang diucapkan
Hidup
Mahasiswa !
Hidup
Rakyat Indonesia !
Kalimat
itu rasanya semakin menambah kebanggan menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa? Ya,
‘maha’ dan ‘siswa’, kata yang membedakan dengan saat SD, SMP dan SMA hanyalah
adalah kata ‘maha’ didepan kata ‘siswa’. Kenapa demikian? Itu adalah pertanyaan
yang muncul saat pertama kali memakai almamater biru dongker.
Sekarang
mungkin sedikit tersadar, makna penambahan kata ‘maha’ didepan kata ‘siswa’
memang bukan sekadar kata ataupun imbuhan untuk memperhalus, tapi dibalik itu
semua tersimpan sejuta tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab
terhadap diri sendiri akan keberlangsungan masa depan yang masih tanda tanya,
tanggung jawab terhadap orang tua yang materil dan moril. Apalagi untuk
mahasiswa yang bersekolah di kampus negeri yang (katanya) dibiayai dari uang
rakyat, sepertinya punya tanggung jawab lebih kepada masyarakat. Ah rasanya
pundak yang kecil ini tidak sanggup untuk menanggung tangung jawab yang begitu besar.
Mahasiswa
yang mempunyai idealism tinggi dan merasa bertanggung jawab terhadap rakyat
menilai bahwa memperjuangkan kepentingan rakyat adalah suatu keharusan,
teriknya matahari mereka lawan hanya untuk aksi agar tuntutannya didengarkan
wakil rakyat. Ya, mahasiswa itu memang hebat. Lantas siapa yang bisa menurunkan
kediktatoran rezim soeharto tahun ’98? Bukankah itu mahasiswa. Masih segar
dalam ingatan, saat pemerintah berencana menaikan harga BBM tahun lalu karena
kebocoran anggaran, lantas siapa yang berteriak dengan lantang menolak kenaikan
harga BBM itu saat yang lain diam membisu? Mereka berjuang memperjuangkan
hak-hak rakyat yang teraniaya oleh kejamnya sistem kapitalis. Ya, mahasiswa itu
memang hebat, sungguh memang benar-benar hebat. Mereka datang bak pahlawan
kebenaran pembasmi kejahatan untuk memperjuangkan rakyat yang tertindas karena
pemeritah yang ‘sakit’.
Mahasiswa
yang (katanya) merupakan agent perubahan memang merupakan kelompok yang sangat strategis.
Ke atas dan ke bawah gerakan mahasiswa sangat kuat. Kuat ke atas karena
mahasiswa merupakan kelompok intelektual yang sangup berdialog dengan penguasa.
Kuat ke bawah karena mahasiswa mampu menggerakan rekannya dan rakyat untuk
menjadi sebuah kekuatan massa yang massif. Terbukti pada tahun ‘98 mahasiswa
sebagai gerakan pendobrak utama naik dan jatuhnya penguasa. Untuk itu gerakan
mahasiswa dalam setiap kesempatan selalu dibutuhkan oleh kekuasaan.
Orang-orang
yang memupuk idealism nya sejak mahasiswa memang orang yang luar biasa, tapi
pertanyaannya? Kemana idealism itu saat sudah duduk dibangku penguasa. Seolah dipreteli
oleh keadaan dan waktu, idealism mereka untuk membela kepentingan rakyat hilang
sudah, entah mereka sendiri yang menghilangkannya atau keadaan sendiri yang
memaksanya, yang jelas kadang kebijakan yang dibuat menyusahkan orang banyak,
antagonis sekali dengan idealism yang dibangun ketika masih menyandang gelar ‘mahasiswa’.
Sebuah
Refleksi
Saat kita
mengkritik habis-habisan kebijakan para penguasa, saat kita mencaci semua
keputusan mereka, dan saat kita menilai mereka sudah tidak layak lagi berkuasa
karena hanya kebijakan yang menyusahkan saja yang dibuat, mungkin kita lupa
bahwa dulunya mereka juga pernah ada diposisi kita sebagai ksatria tanpa
senjata, berani membusungkan dada untuk menghadang para penguasa tirani.
Lalu apa
yang terjadi? Itu karena mereka sejak awal hanya belajar untuk mengkritik saja,
aksi dijalanan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi, ketika kebijakan tidak
pro-rakyat hanya menolak tanpa tahu kenapa kebijakan itu muncul dan ketika
menolak tidak memberikan solusi nyata sebagai pengganti kebijakan, itu sebabnya
ketika sudah duduk di bangku penguasa pun mereka hanya memenuhi kuorum rapat
saja dan menambah deretan orang ‘sakit’ ditengah system yang sudah sekarat ini.
Dan pada akhirnya mereka hanya jadi badut pengisi berita TV, memenuhi headline koran
karena ulah mereka.
Jadi mulai
lah dari sekarang untuk belajar membangun gagasan, karena secarik kertas yang
mengandung gagasan lebih berharga daripada emas permata. Karena kedepannya
pertarungan mahasiswa itu bukan lagi sekadar mengkritik melainkan karena
pertarungan argumentasi dan gagasan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Memang
akan menghasilkan konflik terbuka, tapi konflik karena perbedaan argumentasi
ini akan melahirkan konflik yang elegan sebagai solusi untuk menghadapi
permasalahan bangsa.
Mari
kembali rapatkan barisan,
Karena tulisan
ini dipersembahkan untuk kalian yang mengerti persoalan J
Hidup
Mahasiswa !
Hidup
Rakyat Indonesia !