Kamis, 28 Februari 2013

Mahasiswa : Agen Perubahan atau Penerus Kerusakan?


Hidup Mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia !
Sepenggalan kata yang masih selalu terngiang-ngiang ditelinga, kata yang selalu terdengar di sudut-sudut kampus atau pun saat aksi jalanan, kata-kata itu seperti jadi kalimat wajib mahasiswa yang harus selalu diucapkan untuk membela kepentingan rakyat.
Kalimat itu terdengar pertama kali saat menginjakan kaki di bumi perantauan jatinangor, memulai meniti kehidupan di kampus padjadjaran. Ya, itu adalah pada saat orientasi mahasiswa baru. Ketika orasi dari ketua BEM Kema saat itu yang mengebu-gebu seolah membakar semangat setiap orang yang mendengarnya, dan diakhir orasinya, dua penggal kalimat itu yang diucapkan
Hidup Mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia !
Kalimat itu rasanya semakin menambah kebanggan menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa? Ya, ‘maha’ dan ‘siswa’, kata yang membedakan dengan saat SD, SMP dan SMA hanyalah adalah kata ‘maha’ didepan kata ‘siswa’. Kenapa demikian? Itu adalah pertanyaan yang muncul saat pertama kali memakai almamater biru dongker.
Sekarang mungkin sedikit tersadar, makna penambahan kata ‘maha’ didepan kata ‘siswa’ memang bukan sekadar kata ataupun imbuhan untuk memperhalus, tapi dibalik itu semua tersimpan sejuta tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab terhadap diri sendiri akan keberlangsungan masa depan yang masih tanda tanya, tanggung jawab terhadap orang tua yang materil dan moril. Apalagi untuk mahasiswa yang bersekolah di kampus negeri yang (katanya) dibiayai dari uang rakyat, sepertinya punya tanggung jawab lebih kepada masyarakat. Ah rasanya pundak yang kecil ini tidak sanggup untuk menanggung tangung jawab yang begitu besar.
Mahasiswa yang mempunyai idealism tinggi dan merasa bertanggung jawab terhadap rakyat menilai bahwa memperjuangkan kepentingan rakyat adalah suatu keharusan, teriknya matahari mereka lawan hanya untuk aksi agar tuntutannya didengarkan wakil rakyat. Ya, mahasiswa itu memang hebat. Lantas siapa yang bisa menurunkan kediktatoran rezim soeharto tahun ’98? Bukankah itu mahasiswa. Masih segar dalam ingatan, saat pemerintah berencana menaikan harga BBM tahun lalu karena kebocoran anggaran, lantas siapa yang berteriak dengan lantang menolak kenaikan harga BBM itu saat yang lain diam membisu? Mereka berjuang memperjuangkan hak-hak rakyat yang teraniaya oleh kejamnya sistem kapitalis. Ya, mahasiswa itu memang hebat, sungguh memang benar-benar hebat. Mereka datang bak pahlawan kebenaran pembasmi kejahatan untuk memperjuangkan rakyat yang tertindas karena pemeritah yang ‘sakit’.
Mahasiswa yang (katanya) merupakan agent perubahan memang merupakan kelompok yang sangat strategis. Ke atas dan ke bawah gerakan mahasiswa sangat kuat. Kuat ke atas karena mahasiswa merupakan kelompok intelektual yang sangup berdialog dengan penguasa. Kuat ke bawah karena mahasiswa mampu menggerakan rekannya dan rakyat untuk menjadi sebuah kekuatan massa yang massif. Terbukti pada tahun ‘98 mahasiswa sebagai gerakan pendobrak utama naik dan jatuhnya penguasa. Untuk itu gerakan mahasiswa dalam setiap kesempatan selalu dibutuhkan oleh kekuasaan.
Orang-orang yang memupuk idealism nya sejak mahasiswa memang orang yang luar biasa, tapi pertanyaannya? Kemana idealism itu saat sudah duduk dibangku penguasa. Seolah dipreteli oleh keadaan dan waktu, idealism mereka untuk membela kepentingan rakyat hilang sudah, entah mereka sendiri yang menghilangkannya atau keadaan sendiri yang memaksanya, yang jelas kadang kebijakan yang dibuat menyusahkan orang banyak, antagonis sekali dengan idealism yang dibangun ketika masih menyandang gelar ‘mahasiswa’.

Sebuah Refleksi
Saat kita mengkritik habis-habisan kebijakan para penguasa, saat kita mencaci semua keputusan mereka, dan saat kita menilai mereka sudah tidak layak lagi berkuasa karena hanya kebijakan yang menyusahkan saja yang dibuat, mungkin kita lupa bahwa dulunya mereka juga pernah ada diposisi kita sebagai ksatria tanpa senjata, berani membusungkan dada untuk menghadang para penguasa tirani.
Lalu apa yang terjadi? Itu karena mereka sejak awal hanya belajar untuk mengkritik saja, aksi dijalanan tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi, ketika kebijakan tidak pro-rakyat hanya menolak tanpa tahu kenapa kebijakan itu muncul dan ketika menolak tidak memberikan solusi nyata sebagai pengganti kebijakan, itu sebabnya ketika sudah duduk di bangku penguasa pun mereka hanya memenuhi kuorum rapat saja dan menambah deretan orang ‘sakit’ ditengah system yang sudah sekarat ini. Dan pada akhirnya mereka hanya jadi badut pengisi berita TV, memenuhi headline koran karena ulah mereka.
Jadi mulai lah dari sekarang untuk belajar membangun gagasan, karena secarik kertas yang mengandung gagasan lebih berharga daripada emas permata. Karena kedepannya pertarungan mahasiswa itu bukan lagi sekadar mengkritik melainkan karena pertarungan argumentasi dan gagasan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Memang akan menghasilkan konflik terbuka, tapi konflik karena perbedaan argumentasi ini akan melahirkan konflik yang elegan sebagai solusi untuk menghadapi permasalahan bangsa.

Mari kembali rapatkan barisan,
Karena tulisan ini dipersembahkan untuk kalian yang mengerti persoalan J
Hidup Mahasiswa !
Hidup Rakyat Indonesia !

 
biz.