Kesehatan
merupakan kebutuhan setiap orang. Selain lewat pendidikan, bangsa yang maju di
nilai dari taraf kesehatan warga Negara nya, karena dengan sehat setiap orang
bisa melakukan hal produktif apapun untuk memajukan bangsa dan Negara nya. Menyadari
pentingnya peran kesehatan dalam hajat hidup setiap manusia, pemerintah
seharusnya memberikan perhatian lebih dalam bidang kesehatan. Ketika sector
kesehatan tidak dapat dijalankan dengan baik ini akan membuat derajat sehat
setiap insan Indonesia semakin rendah. Akibatnya produktivitas akan menurun dan
roda perekonomian pun bisa lumpuh.
Ketidakseriusan
pemerintah dalam mengelola sector kesehatan bisa kita nilai dari total APBN
yang pemerintah keluarkan. Total APBN yang pemerintah keluarkan pada tahun 2013
hanya sekitar Rp55,9 T. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun-tahun
sebelumnya jumlah ini dinilai terlalu kecil karena jumlah ini hanya sekitar 3%
dari total APBN 2013 yang hampir mencapai Rp1529,7 T (depkeu.go.id). hal ini
jelas mengingkari amanat dari UU no.36 tahun 2009 tentang kesehatan, karena
pada pasal 171 jelas disebutkan bahwa “Besar anggaran kesehatan Pemerintah
dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja negara di luar gaji.” Anggaran yang kecil itu pun jika berkaca pada
tahun 2011 hampir Rp39,5 T nya habis digunakan untuk biaya pengobatan dan
perawatan Penyakit Terkait Rokok (PTR) (sindonews.com).
Sebagai
Negara berkembang, Indonesia terus menggenjot neraca pembangunan salah satunya dalam sector kesehatan.
Sayangnya, pembangunan yang terjadi hanya untuk mengejar image. Pemerataan
bidang kesehatan bukan dimaknai secara luas, namun hanya diintepretasikan
secara parsial. Akibatnya pemerataan yang terjadi hanya sebatas pembangunan
sarana-sarana fisik. Ini terlihat dari banyaknya puskesmas yang berdiri, namun
tak terkelola dengan baik karena keterbatasan tenaga medis. Akhirnya,
masyarakat pun masih tak mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Menurut
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) dari
sekitar 8.800 unit Puskesmas, 20% diantaranya tidak memiliki dokter. Adanya
kekosongan dokter maupun bidan, di sejumlah Puskesmas tersebut karena
keengganan mereka untuk ditempatkan sebagai pegawai tidak tetap (PTT) di daerah
yang jauh dari tempat asalnya. Hal ini bisa disebabkan multifactor, bisa jadi dokternya
yang tidak bersedia atau memang tidak ada peraturan yang memaksa hal ini. Jika
kita bandingkan waktu dulu terdapat adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5
Tahun 1975 yang mewajibkan semua tamatan dokter, bidan, dan perawat bersedia
ditempatkan dimana saja, dan jika tidak mau maka akan mendapatkan sanksi,
berbeda realita dengan sekarang ini. Sekarang aturan tersebut sudah tidak
berlaku. Sehingga dokter, bidan, dan perawat boleh bekerja dimana pun di
seluruh Indonesia. Sehingga para dokter tidak harus bekerja di daerah
terpencil. Akibatnya, kesenjangan distribusi tenaga kesehatan antara perkotaan
dan daerah terpencil kian tinggi. Misalnya untuk daerah-daerah di Indonesia
yang memiliki SDM Kesehatan terbanyak berada di Jawa dan Bali dengan 301.402
orang tenaga kesehatan atau 45,08% dan yang paling sedikit berada di wilayah
Nusa Tenggara dan Papua yaitu masing-masing hanya 26.168 orang atau 3,91% dan
16.293 orang atau 2,44% (tempo.co).
Belum
lagi awal tahun 2014 ini akan diterapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana system ini
akan menaungi semua pelayanan kesehatan Indonesia. Sistem ini berbasis asuransi
social dan pasti akan menyedot semua perhatian massa karena pada awal pembuatan
nya pun UU SJSN sudah menuai banyak polemic. Dari segi penerapannya pun SJSN
belum tersosialisasikan dengan baik, dilihat dari banyaknya tenaga ahli medis
yang tidak tahu posisi mereka di era SJSN nanti. Dari segi persiapannya bisa
dibilang sangat minim apalagi dengan kondisi kekinian Indonesia. Dari segi
jumlah tenaga medis saja terutama dokter umum di Indonesia masih belum ideal. Berdasarkan
ketentuan rasio World Health Organization (WHO) seharusnya ada 40 dokter umum
per 100 ribu penduduk. Saat ini, baru 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk
(tempo.co). Belum lagi terjadi ketimpangan pemerataan SDM Kesehatan yang sudah
dipaparkan diatas, padahal di era SJSN nanti dibutuhkan pelayanan kesehatan
yang prima.
Semoga
disisa detik-detik terakhir pemerintahan rezim SBY, polemic kesehatan di
seantero negeri bisa diselesaikan dengan baik. SJSN yang akan diterapkan
beberapa bulan lagi bisa dijalankan dengan optimal jangan sampai hanya untuk
pencitraan ulang rezim mengahadapi pemilu 2014 saja dan semua kebutuhan primer
masyarakat bisa terjamin terutama akses pelayanan kesehatannya.
Salam,
Jaya Sukmana
Kementrian Kajian Strategis
BEM Kema UNPAD 2013
Jaya Sukmana
Kementrian Kajian Strategis
BEM Kema UNPAD 2013
0 comments:
Posting Komentar