Jumat, 18 Oktober 2013

9th kinerja SBY : Potret Buram Kesehatan Indonesia

Kesehatan merupakan kebutuhan setiap orang. Selain lewat pendidikan, bangsa yang maju di nilai dari taraf kesehatan warga Negara nya, karena dengan sehat setiap orang bisa melakukan hal produktif apapun untuk memajukan bangsa dan Negara nya. Menyadari pentingnya peran kesehatan dalam hajat hidup setiap manusia, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih dalam bidang kesehatan. Ketika sector kesehatan tidak dapat dijalankan dengan baik ini akan membuat derajat sehat setiap insan Indonesia semakin rendah. Akibatnya produktivitas akan menurun dan roda perekonomian pun bisa lumpuh.
Ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola sector kesehatan bisa kita nilai dari total APBN yang pemerintah keluarkan. Total APBN yang pemerintah keluarkan pada tahun 2013 hanya sekitar Rp55,9 T. Meskipun mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya jumlah ini dinilai terlalu kecil karena jumlah ini hanya sekitar 3% dari total APBN 2013 yang hampir mencapai Rp1529,7 T (depkeu.go.id). hal ini jelas mengingkari amanat dari UU no.36 tahun 2009 tentang kesehatan, karena pada pasal 171 jelas disebutkan bahwa “Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.” Anggaran yang kecil itu pun jika berkaca pada tahun 2011 hampir Rp39,5 T nya habis digunakan untuk biaya pengobatan dan perawatan Penyakit Terkait Rokok (PTR) (sindonews.com). 
Sebagai Negara berkembang, Indonesia terus menggenjot neraca pembangunan  salah satunya dalam sector kesehatan. Sayangnya, pembangunan yang terjadi hanya untuk mengejar image. Pemerataan bidang kesehatan bukan dimaknai secara luas, namun hanya diintepretasikan secara parsial. Akibatnya pemerataan yang terjadi hanya sebatas pembangunan sarana-sarana fisik. Ini terlihat dari banyaknya puskesmas yang berdiri, namun tak terkelola dengan baik karena keterbatasan tenaga medis. Akhirnya, masyarakat pun masih tak mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Menurut Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) dari sekitar 8.800 unit Puskesmas, 20% diantaranya tidak memiliki dokter. Adanya kekosongan dokter maupun bidan, di sejumlah Puskesmas tersebut karena keengganan mereka untuk ditempatkan sebagai pegawai tidak tetap (PTT) di daerah yang jauh dari tempat asalnya. Hal ini bisa disebabkan multifactor, bisa jadi dokternya yang tidak bersedia atau memang tidak ada peraturan yang memaksa hal ini. Jika kita bandingkan waktu dulu terdapat adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 1975 yang mewajibkan semua tamatan dokter, bidan, dan perawat bersedia ditempatkan dimana saja, dan jika tidak mau maka akan mendapatkan sanksi, berbeda realita dengan sekarang ini. Sekarang aturan tersebut sudah tidak berlaku. Sehingga dokter, bidan, dan perawat boleh bekerja dimana pun di seluruh Indonesia. Sehingga para dokter tidak harus bekerja di daerah terpencil. Akibatnya, kesenjangan distribusi tenaga kesehatan antara perkotaan dan daerah terpencil kian tinggi. Misalnya untuk daerah-daerah di Indonesia yang memiliki SDM Kesehatan terbanyak berada di Jawa dan Bali dengan 301.402 orang tenaga kesehatan atau 45,08% dan yang paling sedikit berada di wilayah Nusa Tenggara dan Papua yaitu masing-masing hanya 26.168 orang atau 3,91% dan 16.293 orang atau 2,44% (tempo.co).
Belum lagi awal tahun 2014 ini akan diterapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dimana system ini akan menaungi semua pelayanan kesehatan Indonesia. Sistem ini berbasis asuransi social dan pasti akan menyedot semua perhatian massa karena pada awal pembuatan nya pun UU SJSN sudah menuai banyak polemic. Dari segi penerapannya pun SJSN belum tersosialisasikan dengan baik, dilihat dari banyaknya tenaga ahli medis yang tidak tahu posisi mereka di era SJSN nanti. Dari segi persiapannya bisa dibilang sangat minim apalagi dengan kondisi kekinian Indonesia. Dari segi jumlah tenaga medis saja terutama dokter umum di Indonesia masih belum ideal. Berdasarkan ketentuan rasio World Health Organization (WHO) seharusnya ada 40 dokter umum per 100 ribu penduduk. Saat ini, baru 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk (tempo.co). Belum lagi terjadi ketimpangan pemerataan SDM Kesehatan yang sudah dipaparkan diatas, padahal di era SJSN nanti dibutuhkan pelayanan kesehatan yang prima.
Semoga disisa detik-detik terakhir pemerintahan rezim SBY, polemic kesehatan di seantero negeri bisa diselesaikan dengan baik. SJSN yang akan diterapkan beberapa bulan lagi bisa dijalankan dengan optimal jangan sampai hanya untuk pencitraan ulang rezim mengahadapi pemilu 2014 saja dan semua kebutuhan primer masyarakat bisa terjamin terutama akses pelayanan kesehatannya.


Salam,
Jaya Sukmana
Kementrian Kajian Strategis
BEM Kema UNPAD 2013

Jaya Sukmana

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar

 
biz.