gambar diambil dari www.google.com |
Daripada mengucapkan selamat tahun
baru 2015, mungkin lebih tepatnya saya ingin mengucapkan selamat datang di PT
Indonesia Raya Tbk. Tadinya tulisan ini mau saya beri judul “Negara itu bukan Koorporasi”, kemudian tetiba
ingat salah satu mata kuliah Kewirausaahaan yang baru saja berakhir semester
lalu yang pernah membahas tentang Perseroan Terbatas (PT), mungkin ini yang
lebih cocok untuk kondisi Indonesia hari ini. Tapi sebenarnya ini nggak penting
sih, kalau yang namanya judul ya suka-suka penulisnya aja :p. Singkat kata,
diakhir kalimat pembuka ini saya mau ngucapkan selamat untuk Negara kita yang
secara tidak resmi dan tidak legal telah menjadi Koorporasi. Horee *prok prok
prok*
Perseroan
Terbatas atau lebih sering disingkat PT adalah suatu badan usaha yang
berorientasi profit. PT biasanya
dikuasai oleh pemegang saham dimana yang memiliki saham yang paling besar,
dialah yang berkuasa. PT ada yang bersifat privat dimana pengelolaannya oleh
segelintir orang (biasanya keluarga), tapi ada juga yang bersifat terbuka. Untuk
jenis PT yang bersifat terbuka, biasanya sudah go public dan masuk kedalam bursa saham dimana setiap orang boleh
berlomba-lomba membeli saham didalam PT tersebut. Karena orientasi utama PT
adalah profit, hal ini berakibat pada
setiap gerak dan tindakannya. Apa-apa
yang menguntungkan akan dikerjakan dan apa-apa yang merugikan akan ditinggalkan
sehingga cara kerja dari koorporasi ini cenderung oportunis mengingat kondisi
ekonomi-sosial-politik didunia ini pun yang terus-terusan berubah.
Satu
hal yang pasti, Negara itu bukan koorporasi. Setiap kegiatan dan orientasinya
tidak hanya sebatas terpaku pada angka-angka kalkulasi, ada tujuan mulia yang
harus dikejar yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Ketika
orientasi mengejar tujuan sudah terpragmatisasi oleh angka-angka ekonomi, adalah
sesuatu hal yang wajar kalau subsidi bbm yang pemerintah keluarkan selama ini dianggap
membebani anggaran dan tidak tepat sasaran.
Masyarakat
Indonesia memang mendapatkan kado manis tahun baru dari pemerintah dengan
pencabutan total subsidi bbm (untuk kategori premium). Sebagian masyarakat
menyambut gembira berita ini karena akibat kebijakan ini bbm mengalami
penurunan menjadi Rp.7600/liter dari sebelumnya Rp.8500/liter. Bagaimana tidak,
harga bbm yang turun siapa yang tidak senang? Tapi kebijakan ini adalah sebuah blunder karena telah menyerahkan harga
bbm kepada mekanisme pasar. Setelah penetapan kebijakan ini, harga bbm turun
karena memang harga minyak dunia sedang turun. Ketika harga minyak dunia
kembali normal, maka harga bbm pun akan naik kembali. Harga minyak dunia yang
selalu fluktuatif pun akan mengakibatkan harga minyak di tingkat eceran
naik-turun setiap bulannya. Hal ini akan berakibat dengan daya beli masyarakat,
karena setiap kenaikan harga bbm pasti selalu dibarengi dengan kenaikan bahan
pokok bukan? Tidak pernah ada sejarahnya dan dalam teori ekonomi madzhab
manapun yang pernah menyebutkan kalau kenaikan harga bbm akan berbanding terbalik
dengan harga-harga lainnya. Kebijakan ini juga menuai kontroversi karena
dianggap melanggar Putusan MK No 002/PPU-I/2003 untuk UU Migas dimana menurut
UUD kita harga BBM tidak boleh ditentukan oleh pasar karena BBM termasuk dalam barang
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bernilai
strategis bagi sektor-sektor kehidupan ekonomi lainnya.
Mengingat
sector migas yang demikian pentingnyanya, rasanya mencabut total seluruh
subsidi bbm bukanlah keputusan yang bijaksana meskipun subsidi tersebut
dialihkan untuk sector yang sangat produktif, karena suatu waktu pemerintah
pasti tidak akan bisa mengontrol inflasi yang terjadi.
Kalau
kita adalah orang yang suka dengan teori-teori konspirasi, mungkin kronologis
yang belakangan ini baru saja terjadi patut untuk di analisis. Harga BBM naik (dari 6500/liter menjadi
8500/liter) à George Soros datang à
Harga BBM turun (dari 8500/liter menjadi 7600/liter) à
subsidi dicabut à and then? Mekanisme pasar tentu
saja. Ahh, tapi sebagai seorang Muslim mari kita berhusnudzon
saja, Pak Jokowi dan kroni-kroninya eh jajarannya pasti mau yang terbaik untuk
PT. Indonesia Raya tbk.
Kado tahun baru sepertinya memang
belum selesai. Pencabutan subsidi bbm ternyata dibarengi dengan pencabutan
subsidi lainnya, seperti subsidi untuk kereta api jarak jauh dan menengah. Akibat
pencabutan ini, harga tiket kereta api untuk jarak jauh dan menengah naik
menjadi lebih dari 100% nya. Pemerintah mungkin memang sangat jeli melihat
peluang. Ditengah rumitnya system transportasi jalanan yang padat dan
seringkali menyebabkan kemacetan serta akibat harga bbm yang naik sehingga
mengakibatkan beban transportasi jalanan membengkak akan mengakibatkan
masyarakat beralih mencari alternative transportasi yang murah, dan itu (biasanya)
dengan kereta (tapi itu dulu sebelum Negara api menyerang). Setelah subsidi
kereta dicabut, apa yang harus kita pilih? Oh Tuhan, kita hanya orang-orang
yang tertekan oleh kebijakan pasar.
Satu
hal yang saya khawatirkan, kalau pemerintah terus-terusan menganggap subsidi
sebagai beban anggaran, jangan-jangan nanti subsidi pemerintah untuk obat
generic pun akan dicabut karena dirasa tidak tepat sasaran. Obat generic
disubsidi pemerintah agar akses masyarakat terhadap obat-obatan menjadi lebih
mudah. Tapi karena ketidakpahaman masyarakat dan tidak berjalannya fungsi
apoteker sebagai pemberi informasi obat di front
line, sehingga akses masyarakat miskin ketika dihadapkan pada pilihan
antara obat generic dan obat paten, pasti kebanyakan akan memilih obat paten
meskipun dengan harga sedikit mahal karena masih adanya paradigm obat yang lebih mahal pasti lebih baik. Malahan
ketika ada kasus demikian, orang-orang kelas menengah ke atas yang notabene mendapatkan pendidikan lebih
baik akan memilih obat generic sebagai drug
of choice karena obat generic mempunyai kualitas yang tidak jauh berbeda
dengan harga yang relative murah karena telah mendapatkan subsidi pemerintah.
Dengan fakta demikian, rasanya alasan pemerintah untuk mencabut subsidi obat
generic pun cukup beralasan dan kedepannya nasib obat generic pun akan sama
seperti nasib bbm dimana setiap bulannya pemerintah harus menetapkan harga
eceran tertinggi (HET) untuk masing-masing setiap jenis obat. Biarkan saja
waktu yang menjawabnya tapi semoga kekhawatiran itu tidak terjadi.