Selasa, 06 Januari 2015

Selamat datang di PT Indonesia Raya Tbk

     
gambar diambil dari www.google.com

        Daripada mengucapkan selamat tahun baru 2015, mungkin lebih tepatnya saya ingin mengucapkan selamat datang di PT Indonesia Raya Tbk. Tadinya tulisan ini mau saya beri judul “Negara itu bukan Koorporasi”, kemudian tetiba ingat salah satu mata kuliah Kewirausaahaan yang baru saja berakhir semester lalu yang pernah membahas tentang Perseroan Terbatas (PT), mungkin ini yang lebih cocok untuk kondisi Indonesia hari ini. Tapi sebenarnya ini nggak penting sih, kalau yang namanya judul ya suka-suka penulisnya aja :p. Singkat kata, diakhir kalimat pembuka ini saya mau ngucapkan selamat untuk Negara kita yang secara tidak resmi dan tidak legal telah menjadi Koorporasi. Horee *prok prok prok*
Perseroan Terbatas atau lebih sering disingkat PT adalah suatu badan usaha yang berorientasi profit. PT biasanya dikuasai oleh pemegang saham dimana yang memiliki saham yang paling besar, dialah yang berkuasa. PT ada yang bersifat privat dimana pengelolaannya oleh segelintir orang (biasanya keluarga), tapi ada juga yang bersifat terbuka. Untuk jenis PT yang bersifat terbuka, biasanya sudah go public dan masuk kedalam bursa saham dimana setiap orang boleh berlomba-lomba membeli saham didalam PT tersebut. Karena orientasi utama PT adalah profit, hal ini berakibat pada setiap gerak dan tindakannya. Apa-apa yang menguntungkan akan dikerjakan dan apa-apa yang merugikan akan ditinggalkan sehingga cara kerja dari koorporasi ini cenderung oportunis mengingat kondisi ekonomi-sosial-politik didunia ini pun yang terus-terusan berubah.
Satu hal yang pasti, Negara itu bukan koorporasi. Setiap kegiatan dan orientasinya tidak hanya sebatas terpaku pada angka-angka kalkulasi, ada tujuan mulia yang harus dikejar yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Ketika orientasi mengejar tujuan sudah terpragmatisasi oleh angka-angka ekonomi, adalah sesuatu hal yang wajar kalau subsidi bbm yang pemerintah keluarkan selama ini dianggap membebani anggaran dan tidak tepat sasaran.
Masyarakat Indonesia memang mendapatkan kado manis tahun baru dari pemerintah dengan pencabutan total subsidi bbm (untuk kategori premium). Sebagian masyarakat menyambut gembira berita ini karena akibat kebijakan ini bbm mengalami penurunan menjadi Rp.7600/liter dari sebelumnya Rp.8500/liter. Bagaimana tidak, harga bbm yang turun siapa yang tidak senang? Tapi kebijakan ini adalah sebuah blunder karena telah menyerahkan harga bbm kepada mekanisme pasar. Setelah penetapan kebijakan ini, harga bbm turun karena memang harga minyak dunia sedang turun. Ketika harga minyak dunia kembali normal, maka harga bbm pun akan naik kembali. Harga minyak dunia yang selalu fluktuatif pun akan mengakibatkan harga minyak di tingkat eceran naik-turun setiap bulannya. Hal ini akan berakibat dengan daya beli masyarakat, karena setiap kenaikan harga bbm pasti selalu dibarengi dengan kenaikan bahan pokok bukan? Tidak pernah ada sejarahnya dan dalam teori ekonomi madzhab manapun yang pernah menyebutkan kalau kenaikan harga bbm akan berbanding terbalik dengan harga-harga lainnya. Kebijakan ini juga menuai kontroversi karena dianggap melanggar Putusan MK No 002/PPU-I/2003 untuk UU Migas dimana menurut UUD kita harga BBM tidak boleh ditentukan oleh pasar karena BBM termasuk dalam barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bernilai strategis bagi sektor-sektor kehidupan ekonomi lainnya.
Mengingat sector migas yang demikian pentingnyanya, rasanya mencabut total seluruh subsidi bbm bukanlah keputusan yang bijaksana meskipun subsidi tersebut dialihkan untuk sector yang sangat produktif, karena suatu waktu pemerintah pasti tidak akan bisa mengontrol inflasi yang terjadi.
Kalau kita adalah orang yang suka dengan teori-teori konspirasi, mungkin kronologis yang belakangan ini baru saja terjadi patut untuk di analisis. Harga BBM naik (dari 6500/liter menjadi 8500/liter) à George Soros datang à Harga BBM turun (dari 8500/liter menjadi 7600/liter) à subsidi dicabut à and then? Mekanisme pasar tentu saja. Ahh, tapi sebagai seorang Muslim mari kita berhusnudzon saja, Pak Jokowi dan kroni-kroninya eh jajarannya pasti mau yang terbaik untuk PT. Indonesia Raya tbk.
            Kado tahun baru sepertinya memang belum selesai. Pencabutan subsidi bbm ternyata dibarengi dengan pencabutan subsidi lainnya, seperti subsidi untuk kereta api jarak jauh dan menengah. Akibat pencabutan ini, harga tiket kereta api untuk jarak jauh dan menengah naik menjadi lebih dari 100% nya. Pemerintah mungkin memang sangat jeli melihat peluang. Ditengah rumitnya system transportasi jalanan yang padat dan seringkali menyebabkan kemacetan serta akibat harga bbm yang naik sehingga mengakibatkan beban transportasi jalanan membengkak akan mengakibatkan masyarakat beralih mencari alternative transportasi yang murah, dan itu (biasanya) dengan kereta (tapi itu dulu sebelum Negara api menyerang). Setelah subsidi kereta dicabut, apa yang harus kita pilih? Oh Tuhan, kita hanya orang-orang yang tertekan oleh kebijakan pasar.
Satu hal yang saya khawatirkan, kalau pemerintah terus-terusan menganggap subsidi sebagai beban anggaran, jangan-jangan nanti subsidi pemerintah untuk obat generic pun akan dicabut karena dirasa tidak tepat sasaran. Obat generic disubsidi pemerintah agar akses masyarakat terhadap obat-obatan menjadi lebih mudah. Tapi karena ketidakpahaman masyarakat dan tidak berjalannya fungsi apoteker sebagai pemberi informasi obat di front line, sehingga akses masyarakat miskin ketika dihadapkan pada pilihan antara obat generic dan obat paten, pasti kebanyakan akan memilih obat paten meskipun dengan harga sedikit mahal karena masih adanya paradigm obat yang lebih mahal pasti lebih baik. Malahan ketika ada kasus demikian, orang-orang kelas menengah ke atas yang notabene mendapatkan pendidikan lebih baik akan memilih obat generic sebagai drug of choice karena obat generic mempunyai kualitas yang tidak jauh berbeda dengan harga yang relative murah karena telah mendapatkan subsidi pemerintah. Dengan fakta demikian, rasanya alasan pemerintah untuk mencabut subsidi obat generic pun cukup beralasan dan kedepannya nasib obat generic pun akan sama seperti nasib bbm dimana setiap bulannya pemerintah harus menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk masing-masing setiap jenis obat. Biarkan saja waktu yang menjawabnya tapi semoga kekhawatiran itu tidak terjadi.

Jaya Sukmana

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

1 comments:

 
biz.