Selasa, 18 Agustus 2015

Menguatkan Kembali Akar Perjuangan Masa Lalu


Hari ini kita dilahirkan sebagai orang islam dan orang Indonesia, tapi sejak kecil kita tidak pernah diajarkan untuk bangga sebagai seorang muslim yang hidup di Indonesia. Betapa tidak, dalam buku-buku sejarah anak-anak pun kita lebih mengenal RA Kartini sebagai tokoh perempuan pembaharu daripada Cut Nyak Dien, kita lebih mengenal Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan daripada KH Ahmad Dahlan dan kita lebih mengenal Taman Siswa sebagai pelopor pendidikan modern daripada Jami’at Khoir. Kenyataan sejarah yang sudah banyak mengalami distorsi ini harus kita urai satu persatu, agar kita tahu kedepannya apa yang harus kita perjuangkan.
Dalam salah satu sejarah kontemporer, kita mengenal adanya Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan modern di Indonesia. Padahal jauh sebelum Taman Siswa berdiri, telah lahir sebuah organisasi yang bernama Jami’at Khoir pada tahun 1901 di Jakarta. Visi utama Jami’at Khoir saat itu adalah untuk memberikan pendidikan islam modern karena menyadari dikotomi yang terjadi antara pendidikan modern dan pendidikan agama pada waktu itu. Sistem madrasah lama hanya menghasilkan lulusan-lulusan ulama yang tidak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern dan system pendidikan formal hanya akan menghasilkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang ilmu agama.
       Menghadapi kenyataan demikian, orang-orang arab yang tinggal di Indonesia waktu itu terdorong dan tergerak nalarnya untuk mendirikan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, untuk mengintegrasikan pendidikan modern dan pendidikan islam agar bisa dihasilkan polymath, yaitu ulama-ulama yang fasih dalam bidang agama tapi juga ahli dalam ilmu pengetahuan modern.
Tujuan awal berdirinya Jami’at Khoir ini adalah untuk mendirikan sekolah islam dan pengiriman pelajar ke turki karena mempunyai jaringan dan kedekatan dengan kekhilafahan islam di istanbul. Pada tahun 1903, Cendekiawan Muslim yang berkumpul dalam wadah Jami’at Khoir ini kemudian mengadakan seminar dengan mengundang Ahmed Amir Bey sebagai utusan dari Khilafah Utsmani di Istanbul. Hasil dari seminar ini menyatakan bahwa haram bagi ummat Islam tunduk pada penguasa kafir. Inilah yang menjadi percikan kemerdekaan pertama, yaitu hembusan semangat untuk membebaskan diri dari penjajah kafir dan menjadi bangsa yang merdeka seuutuhnya.
Aktivitas Jami’at Khoir itu kemudian tercium oleh Belanda dan dianggap mengancam eksistensinya, sehingga keluarlah peraturan pemerintah belanda yang menyatakan bahwa:
1.      Orang asing terutama orang-orang Arab dilarang untuk melakukan kunjungan ke Indonesia
2.      Sultan, penguasa & abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh pan-islamisme di Timur Tengah
3.      Mengharuskan orang yang sudah berangkat haji untuk mencantumkan gelar haji nya
Peraturan itu dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk menjaga agar kaum pribumi tidak terpengaruh oleh provokasi dunia luar sehingga eksistensi mereka di bumi nusantara tetap terjaga. Belanda ingin agar pengaruh pan-islamisme tidak masuk dan menyebar di nusantara karena akan menyebabkan pergolakan hebat dalam menentang pemerintah kolonial. Pembatasan oleh pemerintah Belanda itu kemudian dirasakan oleh aktivis Jami’at Khoir, akhirnya aktivis-aktivis Jami’at Khoir yang mayoritasnya adalah santri dan intelektual Muslim banyak yang membentuk organisasi baru. Sebut saja Haji Samanhudi yang kemudian membentuk Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905, KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, Syeh Ahmad Syurkati yang kemudian mendirikan Al Islam wal Irsyad pada tahun 1914 dan KH Ahmad Halim yang mendirikan Perikatan Oemat Islam (POI) pada tahun 1917. Sebagian besar organisasi ini didirikan untuk menyebarkan dakwah islam dan menangkal kristenisasi yang dilakukan oleh missionaris yang masuk ke Indonesia. Organisasi ini pula lah yang dikemudian hari yang menjadi cikal bakal dalam menghebuskan semangat jihad untuk mengusir pemerintah kolonial dari bumi nusantara.
           Pada tanggal 17-24 Juni 1916 diadakanlah National Indesche Congress (NTICO) pertama di Surabaya yang dimotori oleh Serikat Islam (SI) yang dihadiri oleh 80 lokal SI yang mewakili 360.000 anggota. Tema pembahasan kongres pertama ini adalah Sosialisme dan Demokrasi dalam pandangan Islam. Pada kongres ini, karena melihat posisi Belanda yang masih sangat kuat sehingga diperlukan faham baru untuk menyatukan seluruh masyarakat dalam mengusir Belanda sehingga lahirlah semangat kemerdekaan dan rasa kebangsaan  yang pada akhirnya faham ini akan menjadi cikal bakal lahirnya Nasionalisme. Perlu dipahami bersama bahwasanya nasionalisme ini lahir sebagai strategi untuk mengakomodir kekuatan-kekuatan lokal agar mau bergerak tanpa sekat dan bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan.
         NTICO kedua kemudian dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 20-27 Oktober 1917. Tema pembahasannya pada waktu itu adalah tentang pembelaan (advokasi) rakyat terhadap tanah, raad agama, persewaan tanah, industry gula, pengadilan, perumahan dan nasionalisme.
            Setelah itu dilaksanakan kembali NTICO ketiga pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 yang diikuti oleh 87 lokal mewakili 450.000 anggota. Tema pembahasan NTICO kali ini adalah penghapusan kerja rodi, turunkan pajak, perluas pengajaran rakyat dan tanah untuk rakyat miskin.
Setelah sukses dengan maneuver-manuver gerakannya, Serikat Islam mengadakan kembali NTICO keempat di Surabaya pada tanggal 26 Oktober-2 November 1919. Kali ini Serikat Islam berhasil memperluas keanggotaannya hingga berjumlah 2,25 juta orang. Tema pembahasan kali ini adalah “kapitalisme berdosa dan bersatulah kaum melarat”.
Terakhir NTICO kelima dilaksanakan di Yogyakarta. Tapi karena pada periode ini Serikat Islam sudah mulai tersusupi komunis, jadi tema pembahasannya adalah Pendisiplinan Organisasi. Setelah NTICO kelima ini Serikat Islam terbelah menjadi dua bagian, SI Putih yang tetap berasaskan islam dan SI merah yang akan menjadi cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI).
     Dalam perkembangannya, gerakan-gerakan islam inilah yang nyatanya menjadi pelopor kemerdekaan. Barisan-barisan jihadis yang mempunyai semangat tinggi dengan jargon hidup mulia atau mati dengan syahid menjadikan mereka pasukan yang tangguh dan tak gentar menghadapi musuh meskipun dalam cerita-cerita klasik senjata yang digunakan hanya bamboo runcing.
Semangat inilah yang seharusnya kita teladani bersama, menjadikan islam bukan hanya sebagai dorongan beribadah, tapi sebagai naluriah dalam bermasyarakat. Menjadikan islam sebagai gerakan terpadu yang tersusun rapi dan mengakomodir kehadirnya dalam spirit bernegara. Apalagi ketika kita menyadari dalam era keterbukaan Indonesia hari ini, menyebabkan Indonesia dalam pertarungan terbuka antar ideology dan menempatkan islam sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali yang hakiki.

tulisan ini dibuat untuk Forum Negarawan Muda.
Link : http://www.negarawanmuda.org/2015/06/12/menguatkan-kembali-akar-perjuangan-masa-lalu/

Jaya Sukmana

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 comments:

Posting Komentar

 
biz.