Kesehatan merupakan salah satu pilar penopang bangsa.
Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari taraf hidup kesehatan bangsanya. Hal
ini dikarenakan, seseorang yang sehat dapat melakukan banyak hal produktif,
menciptakan karya-karya baru, berinovasi menembus batas ruang dan waktu.
Sedangkan orang yang kesehatannya terganggu akan lumpuh aktivitasnya. Jika hal
ini terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam skala yang besar, maka akan
melumpuhkan perekonomian negara dan akan berimbas pada sektor-sektor lainnya.
Oleh sebab itu, kesehatan tidak dapat dipandang sebelah mata.
Betapa
pentingnya faktor kesehatan dalam penopang kehidupan suatu bangsa, maka seluruh
aspek dalam kesehatan ini harus dipersiapkan. Mulai dari sarana prasarana
kesehatan yang memadai, praktisi kesehatan yang mencukupi sampai pada
penatalaksanaan teknis di lapangan. Jumlah rekapitulasi SDM kesehatan yang ada
di Indonesia yang tercatat di kementrian kesehatan tahun 2013 mencapai 668.522
orang untuk berbagai macam praktisi kesehatan, mulai dari dokter spesialis,
dokter umum, dokter gigi, perawat, perawat gigi, apoteker, kesmas, bidan, ahli
gizi, pembatu pelayanan teknis dan lain-lain.
Sistem kesehatan di Indonesia memang dinilai
belum ideal. Banyak kendala yang dihadapi saat di lapangan, misalnya belum
tersebarnya praktisi kesehatan secara merata di beberapa daerah di Indonesia.
Hal ini dikarenakan, terkadang terjadi egosentris keprofesian yang tinggi sehingga
sinergisasi antar praktisi kesehatan tidak terjadi padahal untuk memberikan
suatu layanan kesehatan yang prima perlu terjadinya sinergisasi diantara
profesi kesehatan yang bekerja dengan kompetensinya masing-masing. Akibat dari
ketidaksinergisan ini, terjadilah mal praktek karena pelayanan praktisi
kesehatan yang tidak pada kompetensinya. Sejak 2003 hingga 2006, Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Kesehatan telah menerima 373 kasus kesehatan dari seluruh
Indonesia, 90 kasus diantaranya malpraktek. Berdasarkan data yang dimiliki LBH
Kesehatan, sampai dengan empat tahun terakhir, jumlah kasus yang LBH Kesehatan
tangani rata-rata meningkat sekitar 80 persen.
Adanya
masalah dan kendala yang dihadapi saat ini di Indonesia haruslah menemukan
solusi secara tepat dan efisien. Para praktisi kesehatan sejak mahasiswa harus
sudah diajarkan untuk berkolaborasi dengan praktisi kesehatan lainnya sesuai
dengan kompetensinya masing-masing. Sehingga lahirlah metode pembelajaran
kurikulum IPE atau Interprofessional
Education. Interprofessional
education (IPE) adalah salah satu konsep pendidikan yang dicetuskan oleh
WHO sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk peningkatan kemampuan
kolaborasi. Untuk mengikis egosentrisme profesi bukanlah merupakan hal yang
mudah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya di Indonesia selama ini
profesi perawat, bidan, apoteker, ahli gizi dan ahli kesehatan masyarakat masih
menjadi sub-ordinat profesi dokter. Egosentrisme profesi merupakan sikap
mental, karakter, dan produk budaya. Untuk itu diperlukan suatu perubahan dan titik
utamanya adalah melalui proses interprofesional
education yang dimulai sejak proses pendidikan dari masing-masing tenaga
kesehatan.
Menurut Centre for the
Advancement of Interprofessional Education (CAIPE, 2002) menyebutkan, IPE
terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari
profesi kesehatan lain dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan
untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan. Dari
definisi diatas, pelaksanaan IPE kedalam bentuk teknis akan menjadi sangat
luas. IPE bisa didefinisikan dengan melaksanakan praktek medikasi yang
sesungguhnya kepada pasien. IPE juga bisa dilakukan dengan metode pembelajaran
bersama antar jurusan kesehatan. Tetapi, jika mendeskriditkan definisi IPE pada
dua aspek diatas, akan banyak sekali kendala yang dihadapi terutama masalah
dana, infrastruktur dan kurikulum yang tentunya harus dirubah. Itu sebabnya
pelaksanaan IPE di berbagai universitas menjadi terhambat.
Sembari menunggu perbaikan terjadi, kita bisa memulai
pelaksanaan IPE dalam skala kecil dan dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.
Kegiatan kemahasiswaan hari ini hadir dengan kreatif dan inovatif. Hadir
sebagai media pengembangan mahasiswa-mahasiswa nya. Akan tetapi jarang yang
memanfaatkan media ini untuk melakukan Interprofessional
Education, padahal sejatinya hal ini sangat memungkinkan. Banyak
kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk pengoptimalan skill profesi nya masing-masing, tapi
jarang yang menggunakannya untuk berkolaborasi antar profesi. Misalnya kegiatan
pengabdian kepada masyarakat di fakultas farmasi berupa konseling obat kepada
masyarakat, kampanye-kampanye tentang penggunaan obat yang rasional, dll.
Kegiatan semacam ini padahal bisa dilakukan dengan berkolaborasi dengan jurusan
lainnya semisal kedokteran yang melakukan pengobatan gratis, keperawatan dan
kesehatan masyarakat yang melakukan penyuluhan tentang pola hidup bersih dan
sehat, dll. Ketika kegiatan-kegiatan semacam ini dikolaborasikan, akan banyak sekali
dampak yang bermanfaat. Disatu sisi, kegiatan yang dilakukan akan semakin ramai
karena dilakukan bersama-sama. Dilain pihak kita bisa belajar tentang
swamedikasi yang baik dan benar sesuai dengan dengan porsi nya masing-masing,
sekaligus mulai menginisiasi dalam penerapan Interprofessional Education.
0 comments:
Posting Komentar