Hari
ini kita dilahirkan sebagai orang islam dan orang Indonesia, tapi sejak kecil
kita tidak pernah diajarkan untuk bangga sebagai seorang muslim yang hidup di
Indonesia. Betapa tidak, dalam buku-buku sejarah anak-anak pun kita lebih
mengenal RA Kartini sebagai tokoh perempuan pembaharu daripada Cut Nyak Dien,
kita lebih mengenal Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan daripada KH
Ahmad Dahlan dan kita lebih mengenal Taman Siswa sebagai pelopor pendidikan
modern daripada Jami’at Khoir. Kenyataan sejarah yang sudah banyak mengalami
distorsi ini harus kita urai satu persatu, agar kita tahu kedepannya apa yang
harus kita perjuangkan.
Dalam
salah satu sejarah kontemporer, kita mengenal adanya Taman Siswa yang didirikan
oleh Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan modern di Indonesia. Padahal
jauh sebelum Taman Siswa berdiri, telah lahir sebuah organisasi yang bernama
Jami’at Khoir pada tahun 1901 di Jakarta. Visi utama Jami’at Khoir saat itu
adalah untuk memberikan pendidikan islam modern karena menyadari dikotomi yang
terjadi antara pendidikan modern dan pendidikan agama pada waktu itu. Sistem
madrasah lama hanya menghasilkan lulusan-lulusan ulama yang tidak ada
pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern dan system pendidikan formal hanya akan
menghasilkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang ilmu agama.
Menghadapi kenyataan demikian,
orang-orang arab yang tinggal di Indonesia waktu itu terdorong dan tergerak
nalarnya untuk mendirikan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, untuk
mengintegrasikan pendidikan modern dan pendidikan islam agar bisa dihasilkan polymath, yaitu ulama-ulama yang fasih
dalam bidang agama tapi juga ahli dalam ilmu pengetahuan modern.
Tujuan
awal berdirinya Jami’at Khoir ini adalah untuk mendirikan sekolah islam dan
pengiriman pelajar ke turki karena mempunyai jaringan dan kedekatan dengan
kekhilafahan islam di istanbul. Pada tahun 1903, Cendekiawan Muslim yang berkumpul
dalam wadah Jami’at Khoir ini kemudian mengadakan seminar dengan mengundang
Ahmed Amir Bey sebagai utusan dari Khilafah Utsmani di Istanbul. Hasil dari
seminar ini menyatakan bahwa haram bagi ummat Islam tunduk pada penguasa kafir.
Inilah yang menjadi percikan kemerdekaan pertama, yaitu hembusan semangat untuk
membebaskan diri dari penjajah kafir dan menjadi bangsa yang merdeka
seuutuhnya.
Aktivitas
Jami’at Khoir itu kemudian tercium oleh Belanda dan dianggap mengancam
eksistensinya, sehingga keluarlah peraturan pemerintah belanda yang menyatakan
bahwa:
1. Orang
asing terutama orang-orang Arab dilarang untuk melakukan kunjungan ke Indonesia
2. Sultan,
penguasa & abdi dalem dilarang pergi haji, dikhawatirkan akan terpengaruh pan-islamisme di Timur Tengah
3. Mengharuskan
orang yang sudah berangkat haji untuk mencantumkan gelar haji nya
Peraturan
itu dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk menjaga agar kaum pribumi tidak
terpengaruh oleh provokasi dunia luar sehingga eksistensi mereka di bumi nusantara
tetap terjaga. Belanda ingin agar pengaruh pan-islamisme
tidak masuk dan menyebar di nusantara karena akan menyebabkan pergolakan hebat dalam
menentang pemerintah kolonial. Pembatasan oleh pemerintah Belanda itu kemudian
dirasakan oleh aktivis Jami’at Khoir, akhirnya aktivis-aktivis Jami’at Khoir
yang mayoritasnya adalah santri dan intelektual Muslim banyak yang membentuk
organisasi baru. Sebut saja Haji Samanhudi yang kemudian membentuk Syarikat
Dagang Islam pada tahun 1905, KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada
tahun 1912, Syeh Ahmad Syurkati yang kemudian mendirikan Al Islam wal Irsyad
pada tahun 1914 dan KH Ahmad Halim yang mendirikan Perikatan Oemat Islam (POI)
pada tahun 1917. Sebagian besar organisasi ini didirikan untuk menyebarkan
dakwah islam dan menangkal kristenisasi yang dilakukan oleh missionaris yang
masuk ke Indonesia. Organisasi ini pula lah yang dikemudian hari yang menjadi
cikal bakal dalam menghebuskan semangat jihad untuk mengusir pemerintah kolonial
dari bumi nusantara.
Pada tanggal 17-24 Juni 1916
diadakanlah National Indesche Congress (NTICO) pertama di Surabaya yang
dimotori oleh Serikat Islam (SI) yang dihadiri oleh 80 lokal SI yang mewakili
360.000 anggota. Tema pembahasan kongres pertama ini adalah Sosialisme dan
Demokrasi dalam pandangan Islam. Pada kongres ini, karena melihat posisi
Belanda yang masih sangat kuat sehingga diperlukan faham baru untuk menyatukan
seluruh masyarakat dalam mengusir Belanda sehingga lahirlah semangat
kemerdekaan dan rasa kebangsaan yang
pada akhirnya faham ini akan menjadi cikal bakal lahirnya Nasionalisme. Perlu
dipahami bersama bahwasanya nasionalisme ini lahir sebagai strategi untuk
mengakomodir kekuatan-kekuatan lokal agar mau bergerak tanpa sekat dan bersatu
untuk memperjuangkan kemerdekaan.
NTICO kedua kemudian dilaksanakan di
Jakarta pada tanggal 20-27 Oktober 1917. Tema pembahasannya pada waktu itu
adalah tentang pembelaan (advokasi) rakyat terhadap tanah, raad agama,
persewaan tanah, industry gula, pengadilan, perumahan dan nasionalisme.
Setelah itu dilaksanakan kembali
NTICO ketiga pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 yang diikuti oleh 87
lokal mewakili 450.000 anggota. Tema pembahasan NTICO kali ini adalah
penghapusan kerja rodi, turunkan pajak, perluas pengajaran rakyat dan tanah
untuk rakyat miskin.
Setelah
sukses dengan maneuver-manuver gerakannya, Serikat Islam mengadakan kembali
NTICO keempat di Surabaya pada tanggal 26 Oktober-2 November 1919. Kali ini
Serikat Islam berhasil memperluas keanggotaannya hingga berjumlah 2,25 juta
orang. Tema pembahasan kali ini adalah “kapitalisme berdosa dan bersatulah kaum
melarat”.
Terakhir
NTICO kelima dilaksanakan di Yogyakarta. Tapi karena pada periode ini Serikat
Islam sudah mulai tersusupi komunis, jadi tema pembahasannya adalah
Pendisiplinan Organisasi. Setelah NTICO kelima ini Serikat Islam terbelah
menjadi dua bagian, SI Putih yang tetap berasaskan islam dan SI merah yang akan
menjadi cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam perkembangannya, gerakan-gerakan
islam inilah yang nyatanya menjadi pelopor kemerdekaan. Barisan-barisan jihadis
yang mempunyai semangat tinggi dengan jargon hidup mulia atau mati dengan syahid menjadikan mereka pasukan yang
tangguh dan tak gentar menghadapi musuh meskipun dalam cerita-cerita klasik
senjata yang digunakan hanya bamboo runcing.
Semangat
inilah yang seharusnya kita teladani bersama, menjadikan islam bukan hanya
sebagai dorongan beribadah, tapi sebagai naluriah dalam bermasyarakat.
Menjadikan islam sebagai gerakan terpadu yang tersusun rapi dan mengakomodir
kehadirnya dalam spirit bernegara.
Apalagi ketika kita menyadari dalam era keterbukaan Indonesia hari ini,
menyebabkan Indonesia dalam pertarungan terbuka antar ideology dan menempatkan
islam sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan kemerdekaannya
kembali yang hakiki.
tulisan ini dibuat untuk Forum Negarawan Muda.
Link : http://www.negarawanmuda.org/2015/06/12/menguatkan-kembali-akar-perjuangan-masa-lalu/